Ini adalah pemahaman yang keliru. Cukup bagi mereka untuk membersihkan bagian tubuh yang terkena najis tersebut, adapun wudhu maka tidak batal, karena wudhu batal apabila air kencing atau kotoran itu keluar dari dirinya sendiri. Demikian artikel tentang hukum air kencing bayi laki-laki yang hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI).
Berikut adalah tujuh benda yang termasuk najis: 1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia. Adapun bangkai binatang laut—seperti ikan—dan bangkai binatang darat yang tiidak berdarah saat masih hidup—seperti belalang—serta mayat manusia, semuanya suci. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Diharamkan bagimuBincangMuslimah.Com – Dalam kajian fikih, ada beberapa najis yang apabila mengenai tubuh, tempat, pakaian, atau benda lainnya dianggap ma’fu ‘anhu (tolerir). Artinya, najis tersebut tidak perlu dibersihkan dan dianggap diamaafkan. Tapi sejauh mana kadar najis ma’fu ‘anhu yang berimbas tidak wajibnya untuk dibersihkan? Dalam tulisan ini, mari kita mengetahui kadar najis yang ma’fu
Dalam Kitab-Kitab fiqih oleh Syafri M Noor disebutkan bahwa menyusui anak tidak membatalkan wudhu. Walaupun air susu keluar dari tubuh, hal itu tidak membatalkan wudhu. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa semua hal yang keluar dari tubuh, selain dari kubul dan dubur, tidak membatalkan wudhu, termasuk air susu, ingus dan yang lainnya.
Pertama: Pada dasarnya segala sesuatu itu suci, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu najis. Kedua: Keputihan adalah sesuatu yang sering dialami kaum wanita, jika hal itu dianggap najis, maka akan menyusahkan mereka. Ini sesuai dengan Kaidah Fiqh : المشقة تجلب التيسير (Kepayahan itu menyebabkan adanya kemudahan) Ketiga: “Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak mengalir. Seperti cicak, tawon, kumbang, atau lalat. Semuanya tidak najis bangkainya.: (Nihayah al-Muhtaj, 1:237)Kedua: tidak membedakan antara mencuci dari najis liur anjing dengan najis-najis lainnya yang tidak disyaratkan dalam menghilangkannya bilangan tertentu. Inilah pendapat imam Abu Hanîfah (lihat Syarah Ma’ânil Atsar ath-Thahâwi 1/22) dengan membawa perintah dalam hadits kepada hukum sunnah saja. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa
.